Hari ke-9 (9 oktober 2013): Desa Sade, Lombok Tengah.
Pagi itu langit Mataram sedang cerah-cerahnya, kawanan awan kumulus menghiasi langit biru Bandara International Lombok. Setelah menjemput salah satu manajer dari Daihatsu yang baru sampai dari Jakarta, saya bersama tujuh mobil Terios segera menuju ke Desa Sade.
“Agenda kita padet banget hari ini, ayo bergerak, jangan ada yang kepisah dari rangkaian.” Suara Om Toni, team leader kami kembali beraksi di HT, ia bertugas memastikan agar semua agenda hari itu bisa terlaksana.
Desa Sade merupakan destinasi ke-5 yang termasuk dalam Hidden Paradisenya Terios 7 Wonders. Meskipun bertajuk desa, Sade terletak di pinggir jalan raya Praya di daerah Rembitan, Lombok Tengah, memakan waktu sekitar 45 menit – 1 jam dari pusat kota Mataram. Meskipun listrik sudah masuk, desa ini merupakan salah satu desa masyarakat suku Sasak yang masih mempertahankan keasliannya. Mulai dari bentuk rumah, bahasa sehari-hari, sampai adat istiadatnya.
Sebelum mengelilingi rumah-rumahnya, kami disambut oleh beberapa penari yang menggunakan pakaian daerah lengkap sambil memainkan gendang besar (Gendang Beleq). Menurut guide lokal, tarian khas Suku Sasak ini sering dipertunjukkan di depan raja sebagai bentuk pengantar pasukan menuju medan perang pada jaman dahulu.
Tak berhenti sampai di situ, penduduk lokal juga langsung memperagakan Tari Peresehan, pertarungan atara 2 laki-laki dengan tongkat yang terbuat dari rotan dan perisai yang terbuat dari kulit sapi. Perempuan dan anak-anak langsung duduk anteng menonton pertunjukkan yang biasa disuguhkan ketika tamu datang itu. Yang bikin tambah seru, beberapa orang laki-laki dari tim Terios 7 Wonders diajak untuk ikut nyobain!
Setelah diajak keliling singkat oleh salah satu guide kami yang mempunyai nama panggilan Snack *i thought it was Snake :p*, ada tujuh kearifan lokal yang bisa kita pelajari dari masyarakat lokal Suku Sasak:
1. KEPERCAYAAN. Pada jaman dahulu, agama Islam yang dianut Suku Sasak agak berbeda dengan Islam pada umumnya. Mereka menganut Islam Wetu Telu yang masih mempunyai pengaruh ajaran animisme, dinamisme, Budha, dan Hindu. Wetu Telu berarti tiga waktu, mereka hanya menjalankan sholat 3 kali dalam sehari. Namun, masyarakat Suku Sasak di Desa Sade sudah mulai menjalankan sholat 5 waktu.
2. TRADISI PERNIKAHAN. Penculikan merupakan tahap yang dilakukan sebelum laki-laki melamar calon pengantinnya. Biasanya laki-laki yang berencana akan menikah sudah berkompromi dengan si perempuan sebelum malamnya ia pergi menculik. Pihak laki-laki-laki akan membawa kembali si perempuan kembali ke rumah orang tuanya keesokan paginya atau beberapa hari setelahnya untuk dilamar. Untuk perempuan yang memang mencintai laki-laki yang menculiknya, tradisi ini dianggap romantis. Namun bagi perempuan yang tidak mempunyai rasa, tradisi ini merupakan bencana. Orang tua tidak bisa menolak jika anak perempuannya sudah berhasil diculik dan dikembalikan karena bisa dianggap sial (tidak ada yang mau melamar putrinya lagi di kemudian hari). Biasanya, laki-laki menikahi perempuan dari desanya sendiri karena biayanya lebih murah. Di Desa Sade, ada total 150 rumah dengan 700 warga yang semuanya mempunyai ikatan keluarga.
4. MATA PENCAHARIAN. Mata pencaharian penduduk Sade adalah bertani atau bekerja di luar daerah (laki-laki) dan menenun kain (perempuan). Tenun ikat dan tenun songket khas lombok yang dibuat oleh perempuan Sade bisa ditemukan di sepanjang rumah-rumah di desa. Selain menenun kain dan syal, perempuan suku Sasak juga membuat pernak-pernik perempuan seperti gelang, cincin, kalung, dan anting. Mereka biasanya menjualnya sebagai souvenir dengan harga yang beragam, mulai dari Rp 50.000 – 500.000,-.

Pernak-pernik lain yang juga akan sering kamu jumpai di Desa Sade. Rata-rata harganya Rp 10.000 untuk 3 macam gelang.
5. WANITA & TENUN (1). Pada jaman dahulu, gadis yang belum bisa menenun belum boleh menikah. Menenun merupakan lambang kemandirian dan kesiapan seorang perempuan dalam berumahtangga. Namun, aturan itu sudah tidak berlaku lagi sekarang. Mereka sudah dianggap pantas untuk menikah sejak umur 17 tahun.
6. WANITA & TENUN (2). Alat tenun yang digunakan oleh wanita suku Sasak terbuat dari kayu dan penggunaannya masih manual. Bahan-bahan yang digunakan untuk menenun pun berasal dari alam. Mereka memintal benang sendiri dari kapas dengan alat dari kayu. Corak-corak warna yang dihasilkan berasal dari tumbuh-tumbuhan, misalnya; kunyit untuk warna kuning dan mengkudu untuk warna biru. Untuk satu tenun ikat atau tenun songket, mereka membutuhkan waktu sekitar satu minggu hingga satu bulan, tergantung dari kerumitan corak, warna, serta ukurannya.
7. FILOSOFI ARSITEKTUR RUMAH (1). Rumah-rumah di Desa Sade masih terbuat dari bambu sebagai penyangganya, anyaman bambu sebagai temboknya, jerami sebagai atapnya, dan tanah sebagai alasnya. Ada delapan jenis rumah di Desa Sade, di antaranya adalah bale (rumah tempat tinggal). Pintu rumah dibuat rendah (kurang dari 170 cm) sehingga kadang orang dewasa yang masuk ke dalamnya harus menunduk. Ini adalah tanda bahwa siapapun yang masuk harus menunjukkan kesopanan dan rasa hormat terhadap pemilik rumah.
8. FILOSOFI ARSITEKTUR RUMAH (2). Ada tiga anak tangga kecil di setiap rumah warga Suku Sasak. Jumlahnya melambangkan Wetu Telu (tiga waktu) dalam kehidupan manusia, yaitu: lahir, berkembang, dan wafat.
9. FILOSOFI ARSITEKTUR RUMAH (3). Selain bale, ada juga rumah lumbung (dikenal dengan sebutan Berugak) yang digunakan untuk menyimpan hasil panen padi. Menurut guide lokal, hanya wanita yang bisa memasuki berugak bagian atas (tempat penyimpanan padi) karena merekalah yang paling mengerti urusan dapur. Berugak mengajarkan warga Suku Sasak untuk berhemat, stok makanan biasanya disimpan dan dipakai untuk keperluan yang bersifat mendadak, seperti: gagal panen atau perayaan-perayaan penting (pernikahan & festival adat). Berugak biasanya didirikan di depan rumah karena bagian bawahnya juga sering digunakan untuk menerima tamu atau sekedar kumpul keluarga.
10. KOTORAN KERBAU. Bahan-bahan yang digunakan sebagai lantai rumah merupakan campuran dari tanah, getah kayu banjar, dan abu dari hasil jerami yang dibakar. Untuk membuatnya semakin rekat dan tidak lembab pada saat musim dingin serta tidak kering pada saat musim panas, masyarakat Suku Sasak rajin mengolesi lantai rumah mereka dengan kotoran kerbau. Meskipun sering dipakai untuk “mengepel”, ternyata kotoran kerbau tidak meninggalkan bau yang tidak sedap.
Hmm, sebenernya masih banyak banget cerita tentang kearifan lokal di Desa Sade, sayang waktu saya dan teman-teman tim Terios 7 Wonders sangat terbatas. Oiya, karena tidak ada tiket masuk ke desa ini dan para guide juga tidak mematok harga, jangan lupa memasukkan uang ke kotak di depan pintu masuk ya. 😉
Ssstt.. jangan sampai ketinggalan cerita berikutnya! Meskipun hidden paradise ke-5 sudah dikunjungi, saya dan teman-teman lain sempat mengunjungi dua pantai tersembunyi di Lombok Selatan tepat sebelum senja dan ketika matahari terbenam. Let’s go to the beach beach!
Keren, kapan-kapan ada rejeki aku juga mau kesini.
Semacam balik lagi ke jaman dulu 😀
Seneng deh, ih.
aminn! jangan lupa mampir ke tulisan2 lain ya pik. :3
Tiap kali lihat orang-orang tua menjual tenun ikat gitu, jadi mak nyes ya, mereka yang sudah berumur harus menjaga tradisi leluhur. Itu juga demi penghidupan mereka.. 😐
Kadang kasian, dua kali balik ke sini, orang-orangnya masih itu-itu aja dan tambah tua. 😦
Yang muda makin dikit yang bisa nenun kayanya..
Aku culik ya, kamu? 😀
Hmmmm suit suit … ternyata yaaa kalian 🙂 #kedip2mata
eh, wira mau culik om cumi yaa?? uhuyyy…… uci bisa cemburu tuh 😛
Suka banget liat wanita sasak menenun, warna tenun nya warna warni.
Salam kenal Mbak Luci..
Saya sudah baca semua laporan perjalanan Mbak bersama Daihatsu. Very awesome. Segera publis cerita Hidden Paradise 6&7 dong. 😀 TQ
Halo, thanks udah mampir ya.
Iya bakal segera dipublish kok. 😉
Welkam. Okeh, saya tunggu. 😀
Pingback: [Terios7Wonders] Menyibak Keindahan, Berbagi Kebahagiaan | Rahmat Taufik
Pingback: Lombok, My Dreamy Vacation | Langit Namora
saya punya tulisan yang berisi tradisi menikah lombok karena saya orang lombok juga http://roniardy.blogspot.com/2015/02/tradisi-kawin-culik-lombok.html