Ketika saya memasuki kawasan Jakabaring, pelajar Palembang dari berbagai tingkat pendidikan, dari mulai anak-anak SD hingga SMA berjalan bergerombol dengan pernak-pernik khas penonton pertandingan olah raga. Beberapa terlihat dalam kelompok kecil dan beberapa terlihat dalam kelompok besar, namun satu hal yang membuat saya menoleh dan bertanya-tanya saat itu adalah “Mengapa baju mereka bukan bergambar bendera Indonesia melainkan bendera-bendera negara ASEAN lainnya?”
Desas desus tentang pelajar Palembang yang dibayar untuk menjadi pendukung tim negara-negara ASEAN selain Indonesia di Sea Games XXVI sudah saya baca sejak berada dalam pesawat menuju Palembang melalui media twitter. Ada yang bilang kalau mereka dibayar untuk mendukung Thailand, Kamboja, Myanmar, Brunei, Malaysia, Singapura, Myanmar, Laos, Filipin, dan well Timor Leste secara bergantian setiap harinya dengan fee sebesar Rp 20.000 – Rp 50.000 perharinya. Agak bikin kesel juga sih saat itu karena baru membaca salah satu judul artikelnya saja (di Jakarta Globe) sudah membuat jidat berkerut dan hati berkata “hei, ngapain sih mereka, kurang kerjaan banget!”
Ketika sampai di venue aquatic Jakabaring, saya akhirnya melihat sendiri kalau para pelajar itu memang menjadi tim pemandu sorak negara lain. Rombongan anak SD punya kepala suku yaitu guru mereka sendiri, sedangkan anak-anak SMP dan SMA terlihat berjalan tanpa kepala suku. Mereka dilengkapi dengan kaos, topi, dan bendera. Karena saya dan teman-teman blogger lain penasaran, kami berhenti dan mengobrol dengan para pelajar yang mendukung negara Laos.
Seperti perbincangan rekan blogger saya, Mas MT yang bisa dibaca di blognya di sini, anak-anak pelajar itu “ditugaskan” oleh pihak sekolah untuk ikut meramaikan acara Sea Games XXVI di Palembang. Waktu saya tanya apakah mereka dibayar atau tidak, mereka menjawab tidak tau. Ketika saya tanya mengapa mereka tidak mendukung Indonesia, mereka menjawab “Kita tetep dukung Indonesia kok, di sini kan cuma menyambut negara lain aja, jadi tuan rumah yang baik.” Saat mendengar jawaban itu, pikiran negatif saya langsung hilang dan saya pun bergumam “Oh iya ya, pendek banget pikiran gue kalo mikir mereka mau dibayar murah cuma buat dukung negara lain.”
“Tak apalah, kita kan masih serumpun melayu. Yang penting kita meramaikan saja.” kata salah seorang dari rombongan pelajar tersebut.
“Percayalah! Biarpun kaos kami negara lain, tetapi hati kami tetap Indonesia!” imbuh seorang temannya.
Pernyataan dari dua orang pelajar yang saya kutip dari blog Mas MT pun membuat saya semakin mengerti. Saya langsung menarik permasalahan ini dari big picture. Semuanya pasti sudah diatur oleh Pak Gubernur. Sebagai tuan rumah yang baik, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menyambut negara-negara lain dan membuat mereka nyaman selama berada di Indonesia.
“Ah orang Indonesia itu kebanyakan suudzonnya, apa-apa keburu dipandang negatif dulu, padahal di negara lain kan juga seperti itu. Waktu Sea Games tahun 2009 di Laos pun negara kita punya pendukung yang berasal dari masyarakat lokal. Lagipula itu salah satu bagian dari gimmick event. Itu bagian dari servis tuan rumah untuk membuat para pendatangnya merasa diterima.” Pak Alex Noordin menjelaskan dengan santai ketika kami meminta konfirmasi mengenai masalah ini keesokan harinya di Main Dining Hall.

Pelajar SMP pendukung Malaysia yang sedang menunggu angkot/bis untuk keluar dari kompleks Jakabaring.
Perbincangan di twitter pun semakin hangat, ada yang men-judge dengan pemikiran-pemikiran negatifnya mengenai “kemana nasionalisme anak bangsa” namun ada juga yang berpikir positif dan menganggap ini semua dalah bagian dari event besar. Karena sudah membaca dari berbagai media dan mendengar langsung penjelasan dari orang, saya pun jadi ikut berpikir panjang. Saya menilainya dari segi pariwisata Indonesia. Jika negara-negara lain memberikan terstimoni yang positif mengenai indonesia, tentunya hal ini akan berpengaruh positif juga terhadap perkembangan pariwisata di Indonesia.
Tuhkan ah jadi malu sendiri, kadang sebagai orang Jakarta saya mengakui kalau pikiran saya terlalu pendek atau bahkan terlalu rumit. Pelajaran paling pentingnya, lagi-lagi “jangan terlalu cepat menilai keadaan dengan pemikiran negatif, yang rugi kita sendiri euy”. 😉
Luntur mungkin karna pemimpin bangsa ini yang makin bobrok